Text
HUMA BETANG : Internalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kalimantan Tengah
Nilai dan hasil kebudayaan merupakan produk kearifan
lokal sejatinya menjadi asset bangsa yang menghargai
keluhuran identitas diri. Globalisasi dan perkembangan
zaman diterima atau ditolak tetap datang dan masuk
memberikan dampak serta pengaruh yang kuat pada
budaya-budaya lokal yang ada dan mengancam kelestarian
dan originalitas sebuah budaya. Huma Betang sebagai
sebuah produk fisik budaya dan nilai-nilai luhur merupakan
originalitas kearifan lokal yang dijadikan tempat hunian
bersama oleh komunitas tersebut. Eksistensi Huma Betang
saat ini menunjukkan kecenderungan secara psikologis bagi
masyarakat Dayak sebagai produk yang kurang menarik dan
mulai ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pola kehidupan kekinian dan semangat kemandirian
yang individualistis mendorong perilaku setiap anak yang
lahir pada generasi selanjutnya mulai meninggalkan produk
luhur asli budaya ini. Bahkan sebagian generasi muda secara
massif serta keberterimaan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang masuk begitu hebat secara
perlahan melahirkan keengganan pada pemaknaan nilainilai
kearifan lokal itu sendiri. Kondisi ini pada akhirnya
diperparah dengan lunturnya identitas generasi selanjutnya
dan hanya menjadikan Betang sebagai sisa-sisa bangunan
yang kosong akan makna dan nilai-nilai luhur asli kearifan
lokal.
Huma Betang merupakan konsep pembangunan secara
makro yang mengintegrasikan berbagi unsur yang saling
mendukung dalam pelaksanaan pembangunan,
dilambangkan dengan sebuah Rumah Besar sebagai tempat
bermukim masyarakat yang diwarnai oleh pluralitas agama
dan budaya. Mereka tinggal bersama dalam satu rumah
besar dan panjang dengan sejumlah kamar yang
melambangkan kebersamaan komunitas masyarakatnya
melalui kepemimpinan seorang kepala suku, yang dikenal
dengan istilah Bakas Lewu. Eksistensi Huma betang sebagai
salah satu ikon budaya Dayak, sejatinya harus terus
dipelihara dan dikembangkan untuk menggali dan
melestarikan nilai-nilai dan filosofi yang terkandung
didalamnya, karena ia merupakan mutiara yang patut
dieksplorasi dan dimanfaatkan sebagai wujud tanggung
jawab bagi pelestarian dan pewarisan budaya dayak bagi
generasi yang akan datang.
Hal ini harus menjadi perhatian bersama agar Betang
terpelihara dari proses marginalisasi dan kepunahan
budaya, karena pengaruh globalisasi yang tidak mungkin
dihindari. Para pemerhati budaya dituntut untuk
memperkuat keperdulian dalam membentengi
kecenderungan terjadinya degradasi budaya dan pada
akhirnya menyelamatkan nilai-nilai budaya Dayak itu
sendiri dari peroses kepunahan. Lebih dari itu, kepedulian
ini dapat memanfaatkan ruang publik secara arif dan cerdas
untuk mempublikasikan nilai-nilai budaya melalui berbagai
media dan forum, baik regional, nasional maupun
internasional.
Kepunahan budaya dan nilai-nilai identitas sebuah
budaya akan terjadi selama budaya itu terbuka dari
masuknya nilai-nilai lain di luar budaya tersebut. Betang
pada akhirnya nanti, ketika tidak mendapat perhatian dan
pengawalan secara baik dan maksimal dari seluruh
pemangku kebijakan dan masyarakat yang memiliki kearifan
asli budaya lokal tersebut pada akhirnya akan mengalami
krisis identitas dan kepunahan budaya itu sendiri.
Sebagai sebuah produk budaya, Huma Betang
merupakan falsafah hidup utama yang semestinya mampu
diinsyafi dan maknai dengan baik pada pilar-pilar yang
menopang kearifan falsafah tersebut. Pilar-pilar penopang
Betang tersebut adalah; kejujuran, kesetaraan, kebersamaan
dan menjunjung tinggi Hukum adat dan Hukum nasional
dengan menjunjung tinggi prinsip hidup “Belom Bahadat”
hidup yang menjunjung tinggi keadaban dan kesopanan) dan
“Belom Penyang Hinje Simpe” (mengedepanka kehidupan
damai, dalam kebersamaan, menjunjung kesetaraan,
toleransi dan kebersamaan). Kekuatan Empat pilar tersebut
itulah yang menjadi nilai dalam mempukuk kehidupan bagi
generasi muda dalam mempertahankan nilai-nilai keluhuran
betang.
Internalisasi perwujudan kesadaran secara aktif dan
kolektif itulah yang pada akhirnya mendorong untuk
melakukan penjangkaran yang optimal falsafah Betang
sebagai tujuan akhir pada revitalisasi budaya lokal dalam
menjawab tantangan zaman dan menjaga krisis identitas
generasi Dayak di kemudian hari.
Buku ini berisi tentang bagaimana setiap orang
bertanggung jawab untuk melakukan proses terstruktur
melalui sosialisasi, internalisasi dan implmentasi
pembelajaran yang berkaitan dengan upaya mengenalkan
dan mempertahankan kearifan dan falsafah luhur huma
betang. Dalam buku in juga dilampirkan bagaimana upaya
yang serius dari pemerintah daerah Kalimantan Tengah
dengan mengeluarkan SK Gubernur sekaligus panduan
tentang pembelajaran kearifan lokal pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Hal ini lagi-lagi sebagai
sebuah antisipasi atas kekhawatiran punahnya budaya dan
nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, beberapa sisipan dan kekayaan lokal
Kalimantan Tengah dicantumkan dalam buku ini sebagai
pengingat dan penggairah mata saat membaca untuk
memicu kecintaan kepada kekayaan yang memiliki nilai
luhur tersebut.
Akhirnya semoga catatan ringan tentang Huma Betang
ini menjadi upaya kecil dan sumbangsih sederhana dari
penulis untuk memperkaya khazanah kearifan lokal Kalimantan Tengah.
Tidak tersedia versi lain